Sudah 5 hari ini publik disuguhi permainan “ngeri-ngeri sedap” – pinjam istilah Soetan Batoeghana – antara 2 instansi penegak hukum : KPK dan Kepolisian RI. Mirip permainan balap karung, penonton berteriak-teriak menyoraki yang bertanding, sementara yang bertanding mati-matian berusaha lari sekencang-kencangnya sambil menjaga kesetimbangan tubuh agar tak terjatuh. Semua berusaha mencapai garis finish duluan, tapi kalau bisa kaki jangan terjerat karung agar tak jatuh. Itulah adu balap memeriksa dugaan korupsi dalam pengadaan simulator kemudi uji SIM di Korlantas Polri. Keduanya seolah berlomba menetapkan tersangka, berusaha menguasai barang bukti, sambil berupaya mencari dasar hukum sebagai pijakan agar tak tergelincir dan sebaliknya sebisa mungkin menggelincirkan lawan.
Ada banyak kejanggalan dalam adu cepat ini. KPK – berbekal surat penetapan penyidikan tertanggal 27 Juli 2012 – mulai melakukan penggeledahan di Gedung Korlantas Polri pada Senin sore, 30 Juli 2012. Sejumlah barang bukti didapat, sayangnya Polri melalui perwira-perwira di Bareskrim bahkan dipimpin Kabareskrim, berusaha menghentikan upaya penggeledahan itu. Ketika gagal menghentikan penggeledahan, Polri tak menyerah, barang bukti ditahan, dengan alasan mereka membutuhkan barang bukti itu karena mereka sedang menyelidiki kasus tersebut.
Dalam jumpa pers bersama KPK (diwakili Johan Budi) dan Polri (diwakili Boy Rafli Amar), pihak Polri mengaku sudah menyelidiki kasus tersebut dengen memeriksa 33 saksi, namun sampai saat itu – Selasa, 31 Juli 2012 – sama sekali tidak ditemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi. Dalam hak jawabnya kepada Majalah Tempo pada bulan April, Polri menyatakan bahwa mereka sudah selesai melakukan penyidikan tapi tak ditemukan adanya kasus korupsi dalam pengadaan simulator kemudi uji SIM. Faktanya : ternyata Polri sampai tanggal tersebut masih belum masuk ke tahap penyidikan. Surat penetapan penyidikan baru dibuat tanggal 1 Agustus 2012, keesokan harinya. Anehnya lagi, ketika sehari sebelumnya Polri masih sangat yakin bahwa tak ada indikasi korupsi karenanya belum ada satu pun yang dijadikan tersangka, maka pada tanggal ditetapkan penyidikan itu tiba-tiba langsung diumumkan ada 5 tersangka sekaligus, dimana oknum polisi yang dibidik KPK justru tidak jadi tersangka.
Bukan hanya adu penetapan tersangka, Polri pun seolah tak rela kehilangan hak atas penguasaan barang bukti. Maka, barang bukti yang sudah diamankan di Gedung KPK pun dijaga oleh personil Polri selama 24 jam. Berbekal MoU antara Kapolri dan Ketua KPK, maka pihak Polri dan pengacara Irjen Pol. Djoko Susilo ngotot bahwa Polisi tetap berhak atas penyidikan kasus itu.
Padahal, menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, pada pasal 6 huruf (b) jelas disebutkan bahwa KPK memiliki wewenang untuk melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (berarti Polri juga termasuk dalam cakupan ini). Lebih lanjut pada pasal 8disebutkan bahwa : ayat (2) KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Ayat (3) : dalam hal KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukandalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan KPK. Jadi, tak ada celah bagi Polri untuk menahan barang bukti apalagi masih ngotot ingin ikut menyidik instansinya sendiri.
Ada 6 alasan yang membolehkan KPK mengambil alih sebagaimana dijamin dalampasal 9 UU KPK, salah satunya karena proses penyidikan itu dianggap berlarut-larut. Polri sesuai pengakuannya telah sejak beberapa bulan lalu menyelidiki, namun belum juga menemukan indikasi korupsi dan belum satupun yang dijadikan tersangka.So…, bukankah ini berlarut-larut? Apakah kesan “lelet” itu hendak ditebus Polri dengan secepat kilat dalam tempo sehari langsung menetapkan 5 tersangka?
Kesigapan mendadak Polri itu tak menggugurkan hak KPK untuk mengambil alih dan tidak menjamin Polri bisa tetap pegang kendali atas penyidikan. Sebab dalam pasal 50UU KPK secara tekstual sudah disebutkan bahwa : dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan (ayat 3). Bahkan jika pun penyidikan itu bersamaan waktunya, tetap Polri tidak dapat meneruskannya karena ayat 4 pasal 50 UU KPK menyebutkan :dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Penjelasan UU no. 30 / 2002 untuk pasal 50 ayat 4 menyebutkan : Yang dimaksud dengan “dilakukan secara bersamaan” adalah dihitung berdasarkan hari dan tanggal yang sama dimulainya penyidikan.
Seperti kita ketahui, surat penetapan penyidikan dari KPK per tanggal 27 Juli 2012, sedang Polri baru 1 Agustus 2012 alias 5 hari setelah KPK. Maka, makin tak ada lagi alasan Polri untuk mengklaim pihaknya lebih dulu menyidik kasus ini. Bersamaan waktunya saja Kepolisian harus menghentikan dan menyerahkan pada KPK, apalagi jelas belakangan. Lalu dasar hukum apa lagi yang akan dipakai Polri untuk bertahan selain sekedar sebuah MoU yang jelas kedudukannya di bawah Undang-Undang? MoU itu sendiri belum jelas mengatur apa saja, apakah sedetil UU.
Seharusnya, peraturan yang bertentangan dengan UU harus batal demi hukum, apalagi cuma sebuah kesepakatan kesepahaman alias MoU. Bagaimana jika nanti tindakan ini dijadikan yurisprudensi bagi instansi lain untuk membuat MoU-MoU sesuai keinginan pimpinan masing-masing instansi untuk mengakali Undang-Undang? Apa tidak makin karut marut wajah hukum negeri ini? Ironisnya, yang memulai melecehkan Undang-Undang justru institusi penegak hukum.
Dalam debat terbuka yang dipertontonkan media massa, kengototan Polri itu kini diambil alih oleh pengacara Irjen Pol.Djoko Susilo, yang seolah lebih tahu dari pada KPK sendiri tentang MoU tersebut. Yah, tidak heran sebenarnya, sebab pengacara memang tugasnya maju tak gentar membela yang bayar. Kebetulan 2 pengacara kondang yang ditunjuk – Hotma Sitompul dan Juniver Girsang – keduanya adalah pengacara spesialis membela tersangka korupsi yang melawan KPK. Jadi makin panas saja adu balap karung ini. Mereka berusaha menjungkirkan KPK dengan ancaman memperkarakan KPK karena melanggar MoU.
Lalu, siapa yang akan jadi wasit? Seharusnya, SBY sebagai Presiden yang sekaligus “atasan” Kapolri, bisa berinisiatif menengahi, tentu dengan tetap berpegang pada koridor hukum dan patuh pada Undang-Undang. Sebab, siapapun yang melanggar Undang-Undang, maka ia akan terjerat dan jatuh. Mestinya SBY bisa memerintahkan Kapolri untuk legowo dan menyerahkan kepada KPK untuk menyidik dugaan korupsi yang ada di instansinya. Bukankah ini sejalan dengan semangat reformasi Polri dan juga slogan SBY untuk berdiri paling depan sebagai Panglima melawan korupsi?
Lalu bagaimana jika SBY – seperti biasa berdalih tak mau campur tangan – diam saja? Mungkin para aktivis anti korupsi semacam ICW dan berbagai LSM bisa menggugat untuk dilakukan uji materi sekaligus keabsahan MoU tersebut dalam konteks pertentangan esensinya dengan UU no. 30/2002. Biarlah Mahkamah Konstitusi yang menjadi wasit. Selama ini, MK terbukti mampu menjadi wasit yang baik, bahkan ketika perkara menyentuh kepala negara sekalipun.
Bagaimana pun, dalam balap karung bukan sekedar siap yang duluan sampai garis finish. Tetapi “keselamatan” pelari agar tak terjerat dan jatuh juga penting. Polri tak cukup hanya kejar tayang banyak-banyakan menetapkan tersangka, yang penting asal jangan Jendral bintang 2, seperti biasa, korbankan saja Kompol dan AKBP. Dalam kasus dugaan korupsi di tubuh Polri, penting juga ditilik apakah tidak ada pelanggaran hukum dalam proses penyidikannya dan apakah tak ada indikasi “penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya” seperti disebutkan pada butir c pasal 9 UU KPK. Sebab jika itu yang terjadi, bisa jadi peserta balap karung menang mencapai garis finish, tapi ia curang dengan diam-diam melepas karungnya atau melubangi dasar karung agar kaki bebas melangkah. Rakyat berharap tontonan ini berakhir apik, pemenangnya mencapai finish tanpa kecurangan dan tak terjerat tali karung.
Post a Comment